HUKUM MEMELIHARA JANGGUT
Rasulullah s.a.w menggalakkan semua Muslimin sekalian
menyimpan janggut dengan ukuran lebih kurang segengam. Rasulullah s.a.w.
bersabda, mafhumnya:
“Hendaklah kamu membezakan diri daripada kaum musyrik,
pendekkan misai yang meliputi bibir dan simpanlah janggut sampai lebat”.
(Hadith Riwayat Muslim)
“Barang siapa yang mengikuti sunnahku, berarti dia cinta
padaku, dan barang siapa yang cinta padaku, maka akan masuk surga bersamaku.”
“Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi
(penyembah berhala) kerana mereka itu memotong (mencukur) janggut mereka dan
memanjangkan (memelihara) misai (kumis) mereka.”
(Hadith Riwayat Muslim)
"Aku tinggalkan/wasiatkan sesuatu kepada kalian dua
perkara dan untuk kamu semua memegang teguh keduanya yang mana kalian semua
tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnah Nabinya"
(hadis).
Permasalahannya adalah bagi mereka (laki-laki) yang
mempunyai janggut, tetapi mencukurnya. Inilah yang dijadikan khithab (objek
yang diajak bicara) dari sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dalam banyak
haditsnya. Dan inilah yang dijadikan bahasan para ulama kita semenjak dahulu
sampai dengan sekarang. Pembicaraan atau khilaf mengenai hukum memelihara janggot
itu secara garis besar terangkum dalam 4 (empat) pendapat masyhur. Namun
sebelumnya perlu ditekankan bahwa khilaf ini sebatas pada khilaf terhadap janggot
yang panjangnya melebihi genggaman tangan.
Khilaf ini tidak mencakup perbuatan
mencukur pendek-pendek atau mencukur habis janggot, sebab madzhab empat dan
selainnya (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah)
telah sepakat tentang keharamannya.
Khilaf tersebut adalah sebagai berikut :
Khilaf tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tidak memotong janggot sama sekali dengan membiarkannya
sebagaimana adanya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syafi’i dalam
satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah,
dan beberapa ulama yang lainnya.
Pendapat ini berhujjah dengan keumuman hadits Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam :
خالفوا
المشركين وفروا اللحى وأحفوا
الشوارب
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah
jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى
”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim
no. 259].
انهكوا
الشوارب وأعفوا اللحى
”Potong sampai habis kumis kalian dan peliharalah jenggot”
[HR. Al-Bukhari no. 5554].
جزوا الشوارب وأرخوا اللحى
خالفوا المجوس
”Potong/cukurlah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot.
Selisilah oleh kalian kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].
إن أهل الشرك يعفون
شواربهم ويحفون لحاهم فخالفوهم
فاعفوا اللحى وأحفوا الشوارب
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka
lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis
kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan].
عن بن عمر عن
النبي صلى الله عليه
وسلم أنه أمر بإحفاء
الشوارب وإعفاء اللحية
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot”
[HR. Muslim no. 259].
Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung
perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya.[3]
Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas), lagi setara yang
memalingkan dari kewajiban ini.
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
قال ابن الرِّفْعة في
حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي
قد نصَّ في الأم
على تحريم حلق اللحية
، وكذلك نصَّ
الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان
وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة
على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah
Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab
Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh
Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu)
Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman
mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal.
31].
An-Nawawi berkata :
والمختار
تركها على حالها, وألا
يتعرض لها بتقصير شيء
أصلاً
”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot
sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” [Syarh Shahih Muslim
2/154].
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل
الجمهور على أن الأولى
ترك اللحية على حالها,
وأن لا يقطع منها
شيء, وهو قول الشافعي
وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk
membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu
merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya”
[Tharhut-Tatsrib 2/83].
Al-Qurthubi berkata :
لا يجوز حلقها ولا
نتفها ولا قصها
”Tidak diperbolehkan untuk mencukur, mencabut, dan memangkas
jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi
Al-Hanbaly hal. 5].
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد
في المذهب ، حُرمَةُ
حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam
Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab
1/376].
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
وقد حدث قوم يحلقون
لحاهم وهو أشد مما
نقل عن المجوس أنهم
كانوا يقصونها
”Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai
habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana
mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no.
5553].
2. Membiarkan jenggot sebagaimana adanya, kecuali dalam
ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan memotong apa-apa yang berada di
bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya. Pendapat ini merupakan pendapat
yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh
Malik, dan ulama yang lainnya. Pendapat ini dibangun dengan dalil yang
disampaikan oleh pendapat pertama yang kemudian ditaqyid dengan atsar Ibnu
’Umar radliyallaahu ’anhuma :
عن نافع عن بن
عمر عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا
الشوارب وكان بن عمر
إذا حج أو اعتمر
قبض على لحيته فما
فضل أخذه
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian
orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata :
) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia
menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia
potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
عن نافع أن عبد
الله بن عمر كان
إذا أفطر من رمضان
وهو يريد الحج لم
يأخذ من رأسه ولا
من لحيته شيئا حتى
يحج
Dari Nafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar radliyallaahu
’anhuma apabila datang bulan Ramadlan, dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka
ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia
benar-benar melaksanakan haji” [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ Kitaabun-Nikaah
1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Al-Umm 7/253].
عن مروان يعني بن
سالم المقفع قال رأيت
بن عمر يقبض على
لحيته فيقطع ما زاد
على الكف
Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata :
”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa
yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu Dawud no. 2357; hasan].
’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan
dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
كانوا يحبون أن يعفوا
اللحية إلا في حج
أو عمر.
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk
memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya
apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad
shahih] [4].
Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam
Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan
memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah
[Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong
jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i
7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah
2/430].
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah
seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i
membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan
riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
قال الشافعي: وأخبرنا مالك عن
نافع أن ابن عمر
كان إذا حلق في
حج أو عمرة أخذ
من لحيته وشاربه.
[قال الربيع]: قلت: فإنا نقول(
) : ليس على أحد الأخذ
من لحيته وشاربه، إنما
النسك في الرأس؟
قال الشافعي: وهذا مما تركتم
عليه بغير رواية عن
غيره عندكم علمتها.
”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami
Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma
apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya
(selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata :
”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot
dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala
saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan
atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui”
[Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang
atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
وأحب إلي لو أخذ
من لحيته وشاربه، حتى
يضع من شعره شيئاً
لله، وإن لم يفعل
فلا شيء عليه، لأن
النسك إنما هو في
الرأس لا في اللحية.
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga
ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya,
maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah
(memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
3. Diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang (yang
melebihi batas genggaman tangan) sehingga membuat jelek penampilannya. Pendapat
ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot
karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam
At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji
(3/32). [5]
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;
يكره حلق اللحية وقصها
وتحذيفها وأما الأخذ من
طولها وعرضها إذا عظمت
فحسن بل تكره الشهرة
في تعظيمها كما يكره
في تقصيرها
”Mencukur, memangkas, dan mencabut jenggot adalah dibenci.
Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika
ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi
dibenci untuk membiarkan selama sebulan[6] sebagaimana dibenci untuk
memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].
4. Disukai untuk memotong jenggot yang melebihi satu genggam
secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu haji dan ’umrah. Pendapat ini
merupakan pendapat masyhur dari kalangan Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian
ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.
Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu
Hanifah – rahimahumallah :
أخبرنا
أبو حنيفة عن الهيثم
عن ابن عمر -رضي
الله عنهما-: أنه كان
يقبض على لحيته ثم
يقص ما تحت القبضة.
قال محمد: وبه نأخذ،
وهو قول أبي حنيفة.
”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam,
dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam
jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”.
Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah
perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :
ويحرم على الرجل قطع
لحيته ـ أي حلقها,
وصرح في النهاية بوجوب
قطع ما زاد على
القبضة, وأما الأخذ منها
وهي دون ذلك كما
يفعله بعض المغاربة ومخنثة
الرجال, فلم يبحه أحد,
وأخذ كلها فعل يهود
الهند, ومجوس الأعاجم
”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya –
yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah atas wajibnya memotong
apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari itu (yaitu
memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) - sebagaimana yang
dilakukan sebagian orang-orang Maghrib , maka tidak seorang pun ulama yang
membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot merupakan perbuatan orang-orang
Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam (non-Arab)” [Raddul-Mukhtaar
2/418].
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan
memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan, namun tidak boleh kurang
dari itu. Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia
berkata : Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka
beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot
yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau
berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada
beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah
diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (tentang perintah
tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya
memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”. Selanjutnya
Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya
Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata : ”Aku
bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong
rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia
memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”. Aku (Ishaaq)
berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya
ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan
(rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”. (Ishaq berkata) : Aku melihat
Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi
genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya” [Kitab At-Tarajjul
min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].
Tarjih : Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah
pendapat kedua yang membolehkan memotong jenggot jika telah melebihi genggaman
tangan pada waktu haji dan ’umrah. Atsar Ibnu ’Umar merupakan pentaqyid yang
sangat jelas, yaitu berkaitan dengan waktu dan batasan panjang yang
diperbolehkan [7]. Taqyid ini merupakan ijma’ (yaitu jenis ijma’ sukuti) yang
terjadi di kalangan shahabat tanpa ternukil adanya pengingkaran. Dan sangat
mungkin ini juga merupakan ijma’ yang terjadi di kalangan tabi’in. Apalagi
diperkuat oleh atsar shahih dari ’Atha’ dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Wajib hukumnya memelihara (membiarkan) jenggot menurut nash
yang jelas dari As-Sunnah, dan haram hukumnya memotong lebih pendek dari
genggaman tangan atau bahkan mencukur habis keseluruhan jenggot. Namun jika
memang sudah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan, diperbolehkan
untuk memotongnya dengan batasan yang telah ditentukan syari’at (tidak boleh
lebih pendek dari satu genggam).
Di sini mungkin perlu kami ingatkan tentang ucapan Ibnu Hazm
:
واتفقوا
أن حلق جميع اللحية
مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot
adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].
Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin
Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.
Sebagai seorang muslim, menjadi keharusan untuk mematuhi
perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mencontoh sifat-sifat yang ada
padanya [8].
Mudlarat dari Memotong/Mencukur Jenggot
1. Menyelisihi perkara-perkara Nubuwwah yang datang dari
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – yang tiadalah yang diucapkan beliau
itu menurut kemauan hawa nafsunya – untuk memelihara jenggot.
Allah ta’ala telah berfirman :
Allah ta’ala telah berfirman :
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
2. Penyelisihi perkataan-perkataan ahlul-’ilmi (ulama) –
para pewaris Nabi – yang kita diperintahkan untuk mentaatinya, sebagaimana
firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
3. Menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam hal yang
umum, dimana sunnah-sunnah mereka semuanya adalah memelihara jenggot. Allah
ta’ala telah berfirman :
أُوْلَـئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ
اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْراً إِنْ هُوَ
إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
”Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh ummat” [QS. Al-An’aam : 90].
4. Menyelisihi petunjuk nabi kita Muhammad shallallaahu
’alaihi wasallam dalam hal yang khusus, karena Allah telah memerintahkan kita
untuk ber-ittiba’ kepada beliau :
َومَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
”Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” [QS. Al-Hasyr : 7].
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
5. Menyelisihi petunjuk para pendahulu kita yang shalih
(salafunash-shaalih) dari kalangan shahabat dan para tabi’in radliyallaahu
’anhum ajma’in dimana tidak diketahui satupun di antara mereka yang mencukur
(pendek-pendek/habis) jenggotnya. Mereka adalah para imam kita dalam petunjuk,
contoh kita dalam kebaikan, dan bintang-bintang kita yang menerangi dalam
kegelapan. Mereka adalah kaum yang tidak akan mencelakan orang yang
mengikutinya dengan idzin Allah.
6. Menyelisihi sunnah-sunnah fithrah yang telah Allah
tetapkan pada manusia. Allah berfirman :
فطْرَةَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ
”(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah” [QS. Ar-Ruum : 30].
7. Merubah ciptaan Allah tabaraka wata’ala, padahal semua
ciptaan Allah adalah baik. [9]
8. Menyerupai orang-orang musyrikin, Yahudi, dan penyembah
berhala. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka.
9. Menyerupai wanita. Allah telah berfirman :
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالأُنثَى
”Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” [QS.
Ali-’Imran : 36].
10. Mengingkari karunia nikmat (jenggot) ini, dimana telah
Allah muliakan laki-laki dengannya.
11. Dan yang lain-lain.
Peringatan :
1. Atsar Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin rahimahumallah :
وكيع عن أبي هلال
قال : سألت الحسن وابن
سيرين فقالا : لا بأس
به أن تأخذ من
طول لحيتك.
Dari Waki’, dari Abu Hilal ia berkata : Aku bertanya kepada
Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin (tentang hukum memotong jenggot), maka
mereka menjawab : “Tidak mengapa untuk mengambil/memotong dari panjang
jenggotmu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini adalah dla’if karena kebersendirian Abu Hilaal
Ar-Raasiby. Ia adalah seorang rawi yang diperbincangkan yang seseorang tidak
boleh berhujjah dengannya jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar berkata : Ia seorang yang shaduq, tapi layyin
(lemah haditsnya)” [At-Taqrib no. 5923].
Adz-Dzahabi berkata : ”Abu Dawud mentsiqahkannya; Abu Hatim
berkata : Tempatnya kejujuran; tapi tidak kokoh; An-Nasa’i berkata : Tidak kuat
(laisa bil-qawiy); Ibnu Ma’in : Shaduq, dituduh sebagai Qadariyyah; Al-Fallaas
berkata : Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadits dari Abu Hilal, namun
Abdurrahman meriwayatkan darinya” [Mizaanul-I’tidaal no. 7646]. Imam Bukhari
memasukkannya sebagai perawi dla’if dalam kitab Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir (no.
324).
2. Atsar Thawus bin Kaisan rahimahullah :
أبو خالد عن ابن
جريج عن ابن طاوس
عن أبيه أنه كان
يأخذ من لحيته ولا
يوجبه.
Dari Abu Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari
bapaknya (Thawus) : ”Bahwasannya ia (Thawus) memotong jenggotnya namun tidak
mewajibkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini dla’if karena kebersendirian Ibnu Juraij. Ia
adalah seorang mudallis yang jelek (qabiih) tadlisnya. Ia meriwayatkan secara
’an’anah dan tidak disebutkan dalam riwayat tersebut tentang penegasan
sima’-nya.
3. Pada beberapa sumber sering dinukil perkataan yang
dinisbatkan pada Ibnu ’Abdil-Barr dalam kitab At-Tamhiid :
ويحرم حلق اللحية ،
ولا يفعله إلا المخنثون
من الرجال
”Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya
kecuali dari kalangan laki-laki banci” [selesai].
Maka ini bukanlah perkataan Ibnu ’Abdil-Barr. Tidak terdapat
dalam kitabnya, baik dalam At-Tamhiid ataupun Al-Istidzkaar. Namun anehnya
perkataan ini termuat dan ternukil oleh sebagaian ulama besar kita yang
kemudian dinisbatkan sebagaimana di atas.
Semoga apa yang saya tulis di sini dapat bermanfaat bagi
ilmu dan amal kita. Amien............. Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Abul-Jauzaa’ – lewat tengah malam, Jumadil-Ula 1429 [edited
1430 H].
[1] Jenggot dalam bahasa Arab disebut Al-Lihyah (اَللِّحْيَةُ). Al-Fairuz Abadi
berkata tentang definisi dari Al-Lihyah : {شعْرُ
الخدَّيْن و الذَّقنِ} ”rambut (yang tumbuh) di kedua pipi dan
dagu” [Al-Qamus Al-Muhith 4/387]. Hal yang sama dinukil dari Ibnu Mandhur dalam
Lisaanul-’Arab : { اسم يجمع من الشعر
ما نبت على الخدّين
والذقَن } ”nama bagi
semua rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu”.
[2] Sebagaimana disarikan oleh Abu Ahmad Al-Hadzaly dalam
Multaqaa Ahlil-Hadits yang diambil dari kitab I’faaul-Lihyah hal. 29-30,
Fathul-Baari 10/350, dan Juzzul-Masaalik 15/6.
[3] Dalam pembahasan Ushul Fiqh, para ulama telah
menjelaskan :
صيغة الأمر عند الإطلاق
تقتضي: وجوب المأمور به،
والمبادرة بفعله فوراً.
“Bentuk perintah secara mutlak/ umum memberi konsekuensi:
wajibnya sesuatu yang diperintahkan dan bersegera dalam melakukannya secara langsung”.
Di antara dalil yang digunakan para ulama untuk membangun
kaidah ini antara lain :
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيم
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul,
takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" [QS. An-Nuur :
63]. [lihat Al-Ushul min ‘Ilmil-Ushul oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah].
[4] ’Atha’ telah memutlakkan perbuatan dari para shahabat
dan tabi’in untuk memotong jenggot ketika haji dan ’umrah. Sifat kemutlakan
lafadh ’Atha’ ini dalam memotong jenggot ini dijelaskan oleh perbuatan Ibnu
’Umar dalam haji dan ’umrah bahwa yang dipotong itu adalah selebih dari
genggaman tangan. ’Atha’ adalah salah satu murid Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma.
Apa yang diriwayatkan oleh ’Atha’ ini sekaligus menafsiri apa yang diriwayatkan
oleh ulama dari kalangan tabi’in lain yaitu Al-Qaasim bin Muhammad.
عن أفلح قال: كان
القاسم إذا حلق رأسه
أخذ من لحيته وشاربه
Dari Aflah ia berkata : ”Adalah Al-Qaasim jika ia mencukur
kepalanya (waktu haji atau ’umrah), maka ia pun memotong jenggot dan kumisnya”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225; shahih].
Al-Qaasim mencukur jenggotnya di waktu haji dan ’umrah
adalah selebih dari genggaman tangan sebagaimana dilakukan oleh pembesar shahabat
dan tabi’in lainnya.
[5] Dinukil melalui perantaraan risalah Asy-Syaikh Shalih
bin Muhammad Al-Asmary yang berjudul : Hukmul-Akhdzi minal-Lihyah yang
dipublikasikan dalam www.saaid.net; sebagaimana juga ternukil dalam pembahasan
Multaqaa Ahlil-Hadiits (berjudul : هل
يوجد قول معتبر يجوز
الأخذ من اللحية ما
دون القبضة ؟؟).
[6] Perkataan Al-Qadli ‘Iyadl tentang dibencinya membiarkan
jenggot selama satu bulan jangan diartikan boleh mencukur selama satu bulan
secara mutlak (sebagaimana dijadikan hujjah sebagian orang muta’akhkhirin).
Maksud perkataan beliau adalah bahwa beliau membenci jenggot dibiarkan selama
satu bulan jika telah melebihi satu genggaman tangan jika membuat jeleknya
penampilan. Beliau berkata dalam Syarah Shahih Muslim sebagai berikut :
يُكْرَه
حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا , وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا
فَحَسَن , وَتُكْرَه الشُّهْرَة فِي تَعْظِيمهَا كَمَا
تُكْرَه فِي قَصِّهَا وَجَزّهَا
. قَالَ : وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَف
هَلْ لِذَلِكَ حَدّ ؟ فَمِنْهُمْ
مَنْ لَمْ يُحَدِّد شَيْئًا
فِي ذَلِكَ إِلَّا أَنَّهُ
لَا يَتْرُكهَا لِحَدّ الشُّهْرَة وَيَأْخُذ
مِنْهَا , وَكَرِهَ مَالِك طُولهَا جِدًّا
, وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا
زَادَ عَلَى الْقَبْضَة فَيُزَال
, وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذ
مِنْهَا إِلَّا فِي حَجّ
أَوْ عَمْرَة
”Dimakruhkan untuk mencukur, memotong, dan membakar jenggot.
Adapun memotong karena saking panjangnya dan (menjaga) kehormatannya (yang jika
dibiarkan nampak jelek/keji), maka hal itu baik. Dan dimakruhkan membiarkannya
selama sebulan sebagaimana dimakruhkan untuk memotong dan mencukurnya. Dan para
ulama salaf telah berbeda pendapat, apakah dalam hal ini terdapat batasan ?
Diantara mereka ada yang tidak memberikan batasan apapun, namun mereka tidak
membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila
telah mencapai satu bulan. Dan Malik membenci/memakruhkan jika jenggot tersebut
terlalu panjang. Di antara mereka (ulama) ada yang memberi batasan, apa-apa
yang melebihi genggaman tangan maka boleh dihilangkan/dipotong. Dan di antara
mereka ada pula yang membenci memotongnya kecuali saat haji dan ’umrah”
[selesai].
Di sini jelas bahwa Al-Qadli ’Iyadl tidak memperbolehkan
memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman tangan, sebab yang
menjadi sebab adalah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan. Wallaahu
a’lam.
[7] Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal
yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada
dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah
ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah
Sahab].
[8] Dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam adalah orang
yang memelihara jenggotnya, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik
tentang jenggot beliau :
ما عددت في رأس
رسول الله صلى الله
عليه وسلم ولحيته إلا
أربع عشرة شعرة بيضاء
”Tidaklah aku menghitung sesuatu di kepala dan jenggot
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melainkan aku dapatkan sebanyak
empatbelas buah uban [HR. Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail no. 31;
shahih].
[9] Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :
وقصها ـ أي اللحية
ـ سنة المجوس,
وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya – yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah
kaum Majusi. Hal itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah”
[Al-Hujjatul-Baalighah 1/182].
"SESUNGGUHNYA DALAM (MENGAMALKAN) SUNNAH ADA KEJAYAAN"